Diluar karya-karya yang disebutkan di atas, masih banyak, bahkan sudah sulit dihitung, karya-karya yang menyajikan kejadian-kejadian sejenis itu. Dengan demikian, penulis tak akan mengurutnya di sini. Contoh-contoh di atas diharapkan cukup jelas dalam memberi gambaran meruaknya karya-karya yang mengetengahkan perilaku manusia yang demikian.
Hinggasaat ini, beliau masih produktif menulis di usianya yang ke-64 tahun, dengan terus menerbitkan banyaknya karangan prosa, baik berupa cerpen, esai, bahkan novel. Ya, Seno Gumira Ajidarma
Title Dunia Sukab : sejumlah cerita / Seno Gumira Ajidarma, Author: Seno Gumira Ajidarma,*1958-*(pengarang), Publisher:Jakarta : Noura Books, 2016|Bandung : Mizan Media Utama|© 2015 Seno Gumira A., Subject:Sukab (tokoh fiksi) |Fiksi Indonesia |Kesusastraan Indonesia - Kumpulan |Cerita pendek Indonesia , Isbn: -4, Type: Monograf
Vay Tiền Nhanh. › Cerpen›Kemenangan Keempat Seno Gumira... Cerpen ”Macan” karya Seno Gumira Ajidarma terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2020. ”Macan” memenangi persaingan dengan 16 karya lainnya yang masuk nominasi pemenang. OlehHERLAMBANG JALUARDI DAN BUDI SUWARNA 4 menit baca KOMPAS/ALBERTUS KRISNA Nama Seno Gumira Ajidarma dengan cerpennya berjudul Macan tertera pada trofi Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2020. Pemberian penghargaan dilakukan dalam acara Anugerah Cerpen Kompas yang digelar secara daring, Senin 28/6/2021, dari ruang Kompas Institute di Kompas memilih cerita pendek Macan karya Seno Gumira Ajidarma sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2020. Macan memenangi persaingan dengan 16 karya lainnya yang masuk nominasi Cerpen Pilihan Kompas 2020. Ini adalah kali keempat cerpen Seno terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas. Dalam cerita yang dimuat pada edisi 1 Maret 2020 ini, Seno menggugat manusia yang kadung dilabeli sebagai makhluk bijaksana.”Sebenarnya saya ingin menulis tentang peristiwa perampokan ternak yang sadis. Tapi dari mana masuknya, itu misteri kreativitas. Apa yang ingin saya tulis itu hadir di situ cerpen Macan sangat kecil, tapi sangat penting menunjukkan manusia lebih berperan dalam menghabiskan hewan ternak, lebih canggih,” kata Seno lewat konferensi virtual dalam acara Anugerah Cerpen Kompas 2020 yang digelar secara daring dari ruang Kompas Institute di Jakarta, Senin 28/6/2021. Dalam cerita itu, tokoh Macan bernama Embah bersama keluarganya terdesak warga desa, yang cemas dengan kebuasan harimau. Seno mengambil sudut pandang harimau, seperti cerita-cerita dongeng.”Ini adalah cerita klasik tentang habitat yang terganggu dan dampaknya bagi manusia. Klasik sebenarnya. Teknik yang saya gunakan pun realisme biasalah, agak kurang ngawurnya. Padahal, nulis cerpen paling enak bagian ngawurnya,” kata Seno diikuti derai tawa. Dia mengirim cerpen ke Kompas sejak tahun 1978 dan baru mulai dimuat tahun tahun 1968 hingga 2020, harian Kompas telah memuat judul cerpen. Tercatat 575 cerpenis yang karyanya dimuat, lebih dari separuhnya dimuat di atas dua kali. Beberapa nama yang karyanya kerap mewarnai edisi akhir pekan adalah Beni Setia 45 judul, Ratna Indraswari Ibrahim 46, Harris Effendi Thahar 51, dan Yanusa Nugroho 55.KOMPAS/ALBERTUS KRISNA M Hilmi Faiq memandu acara Anugerah Cerpen Kompas 2020 yang digelar Senin 28/6/2021 secara daring dari Ruang Kompas Institute di Jakarta. Cerpen Macan karya Seno Gumira Ajidarma dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas cerpenis lain, karya cerpen Seno telah dimuat sebanyak 85 judul dalam kurun waktu 1982 hingga 2020. Sebanyak empat di antaranya terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas, yakni Pelajaran Mengarang terbit tahun 1992, Cinta di Atas Perahu Cadik 2007, Dodolitdodolitdodolibret 2010, dan Macan 2020.Sejauh ini, baru Seno yang memenangi Cerpen Terbaik Kompas sebanyak empat kali. Pencapaian terdekat dengan Seno dicatat Budi Darma dan Kuntowijoyo yang masing-masing memenangi penghargaan ini sebanyak tiga 1982, karya cerpen Seno selalu menemani pembaca. Pada tahun itu, ada enam judul yang dimuat. Karya cerpennya hanya absen pada 1996, 2004, 2005, dan 2009. Pada 2020, Kompas memuat cerpen Seno lainnya yang berjudul mentereng, Simuladistopiakoronakra. Cerpen yang dimuat pada edisi 5 Juli 2020 itu tidak masuk ke dalam buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas itu berisi 17 judul cerpen yang dinominasikan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2020. Ketujuh belas cerpen itu dipilih dewan juri dari 48 judul cerpen yang dimuat sepanjang tahun 2020. Jumlah pilihan cerpen itu relatif lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. M Hilmi Faiq, salah satu anggota Dewan Juri, mengatakan, ”Entah terpengaruh pandemi atau tidak, rasanya hanya 17 judul ini yang layak bersanding dalam sebuah buku,” Macan, kata Hilmi, akhirnya dipilih juri sebagai pemenang bukan karena nama besar Seno, tetapi karena Macan unggul di semua aspek untuk menjadi cerpen yang baik dibandingkan pesaingnya. ”Suara juri bulat untuk Macan,” kata Faiq. KOMPAS/ALBERTUS KRISNA Suasana di balik layar acara Anugerah Cerpen Kompas 2020 yang digelar secara daring, Senin 28/6/2021, dari ruang Kompas Institute di tambah Faiq, lincah mengambil sudut pandang pertama dari tokoh-tokohnya, ada macan, ada pemburu, ada orang-orang. Ketegangannya jadi terjaga hingga cerpenis Damhuri Muhamad, cerpen Macan memang menarik. ”Tema hutan dan lingkungan selama ini jarang tergarap dalam iklim kreatif. Dalam waktu cukup panjang, garapan tematik langka ini sulit saya temukan dalam cerpen-cerpen Kompas. Padahal, persoalan konservasi hutan dan kerusakan lingkungan adalah persoalan besar Indonesia hari ini,” kata Damhuri, yang cerpennya, Kandang Kambing Nurwajilah, terpilih ke dalam buku kumpulan cerpen tahun 2020 cerpenCerpen menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan harian Kompas sejak 1968. Penganugerahan cerpen terbaik mulai dihelat sejak 1992. Sebanyak 29 cerpen terbaik yang merupakan karya 21 penulis telah terpilih selama periode itu. Lima penulis menerima penghargaan beberapa kali.”Anugerah ini merupakan kontribusi kecil Kompas untuk ikut mendorong pengembangan dunia sastra. Karya sastra bisa mendorong lahirnya ide atau gagasan-gagasan baru karena kemampuannya menerawang menembus lorong waktu. Dunia sastra mengingatkan harkat kita sebagai manusia yang memiliki kepekaan rasa untuk terus mengasahnya,” kata Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta pada cerpen terus terjaga. Saat ini, redaksi menerima kiriman cerpen untuk koran rata-rata 10 hingga 15 naskah per hari, sementara yang dimuat paling banyak hanya 52 naskah dalam setahun. Sementara untuk cerpen yang dimuat di laman naskah yang diterima rata-rata 5-10 cerita per penulis Okky Madasari, cerpen Kompas memberi ruang kemungkinan atas realitas dalam masyarakat. ”Di sela-sela berbagai berita, cerpen kembali mengingatkan bahwa ada kesempatan untuk membangun dunia lebih baik, dengan imajinasi dan nurani kita. Merawat halaman cerpen berarti memelihara harapan dan imajinasi kita bersama,” kata Okky, yang karya cerpennya, Sendiri-sendiri, terpilih masuk buku kumpulan cerpen tahun 2020 ini.
Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng. “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya. Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar. ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?” Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air. Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air. Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. ”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.” Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar. Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar. Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan. Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi. ”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka. Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya. ”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, "dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan ?” Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya. Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar. Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air. ”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu. _______________________________________________ Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala. ”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?” Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan. Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu. ”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik. Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa! ”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.” Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar. Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu. Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri! ”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik. Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi. ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi. Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar. Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar. ”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu. Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar. Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak. ”Guru! Lihat!” Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air! Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak. ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”.
Nama Seno Gumira Ajidarma sudah tidak asing lagi dalam dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karyanya masih banyak dinikmati hingga saat ini. Salah satunya adalah buku kumpulan cerpen yang berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku. Buku yang diterbitkan pada tahun 2002 ini terdiri dari 16 cerita pendek yang dikemas menjadi 3 bagian, yaitu Trilogi Alina, Peselancar Agung, dan Atas Nama Senja. Hampir 2 dekade buku ini diterbitkan, bahkan ada cerpen yang umurnya hampir 3 dekade, namun, tetap saja cerita-cerita Seno masih dapat terhubung dengan kaum milenial masa kini. Nah, mari kita bahas 5 cerpen yang kaum milenial can relate!1. Sepotong Senja untuk PacarkuCerpen ini umurnya sudah hampir 3 dekade, namun tetap saja banyak yang meminjam kata-katanya sebagai pesan romantis untuk sang kekasih. Bagaimana mungkin tidak meminjam kata-kata Sukab yang legendaris? Dia sangat romantis dengan caranya sendiri. Cerpen ini sebenarnya adalah surat Sukab untuk banyak yang berpikir surat-suratan adalah sesuatu hal yang sudah ketinggalan zaman, namun masih banyak kaum milenial masa kini yang menganggap hal tersebut romantis. Selain itu, banyak kutipan yang dapat diambil dari surat Sukab ini, seperti “…Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina…” Nah, siapa yang can relate dengan kutipan diatas? Banyak!2. Jawaban AlinaRasanya baru kemarin melihat Dian Sastrowardoyo membacakan sepenggal kutipan dari Jawaban Alina. Ya, kutipan ini kembali viral di laman instagram pada tahun 2019 lalu, meskipun video awalnya diunggah pada tahun 2016. Para penggemar Dian Sastrowardoyo yang belum mengetahui tentang novel Seno, berbondong-bondong mencaritahu novel apa yang sedang dibacakan saja video tersebut kembali viral karena sebuah alasan. Mungkin saja karena kutipan tersebut rasanya dapat terhubung ke semua orang pada masa kini. Para kaum milenial yang saat ini menginjak usia dewasa muda, pastinya sedang mengalami kisah percintaan dan mungkin saja mengalami perasaan yang sama dengan yang Alina alami. Hal ini yang membuat para kaum milenial can relate sama Jawaban Alina. “Terus terang aku kasihan sama kamu Sukab, mencintai begitu rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak mencintai kamu. Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Sukab, pakai otak dong sedikit, hanya dengan begitu kamu akan selamat dari perasaan cintamu yang tolol itu…” 3. Hujan, Senja dan CintaCerpen Seno lainnya yang mungkin saja kaum milenial sedang rasakan adalah cerpen berjudul Hujan, Senja, dan Cinta. Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan yang mengabaikan seseorang yang mencintainya, dan kemudian merasa kehilangan ketika seseorang tersebut berhenti mencintainya. Penyesalan memang selalu datang diakhir, dan penghargaan terhadap seseorang baru diberikan ketika orang tersebut telah pergi. “Kenapa cintanya bisa berkurang? Cinta itu mestinya abadi dong!” 4. Anak-Anak SenjaFamiliar dengan judulnya? Ya, tentu saja! Istilah ini sering sekali digunakan kaum milenial masa kini. Mereka memanggil anak-anak Indie dengan anak senja. Entah sejak kapan ini terjadi. Namun, musik indie memang sedang digandrungi kaum milenial saat ini dan mereka identik dengan senja. Entah apa pula hubungannya. Mungkin saja, para penikmat musik indie menyukai keindahan, dan senja memang memiliki keindahannya tersendiri. Tapi, hei! Kamu tidak perlu menjadi anak Indie untuk menikmati senja!Sebentar, mungkin kita bisa menarik suatu kesimpulan atau lebih tepat disebut hipotesis dari cerpen Seno yang satu ini, dan menghubungkannya dengan fenomena sosial saat ini. Dalam cerpen Seno, anak-anak senja digambarkan tidak pernah bertambah jika kita melihat kembali tentang sejarah musik indie, musik ini telah ada sejak dulu. Namun, tidak mengurangi minat para kaum muda. Musik Indie selalu memiliki penikmatnya sendiri, sama dengan senja. Mungkinkah ini alasan mengapa anak indie identik dengan senja? Well, who knows! but one thing for sure, kaum milenial masa kini pastinya can relate dengan istilah anak-anak senja ini. “…ternyata anak-anak senja itu tidak pernah bertambah tua…” 5. Senja yang TerakhirSenja Terakhir adalah cerpen Seno yang pastinya kaum milenial saat ini merasa familiar. Bukan dari sisi ceritanya dimana sebuah kota kehilangan senjanya. Namun, dari kebiasaan orang-orang di kota tersebut. Pada cerpen ini digambarkan orang-orang berbondong-bondong membeli foto dan video dari senja terakhir tersebut. Namun, bukan itu yang akan dibahas, melainkan bagaimana foto dan video tersebut diabadikan. Dengan beredarnya foto dan video tersebut membuktikan bahwa banyak orang mengabadikan momen inilah yang pastinya para kaum milenial can relate. Kaum milenial saat ini seperti berlomba-lomba mengabadikan momen senja, baik berupa foto maupun video. Seakan-akan itu merupakan senja terakhir mereka. Bedanya, mereka kemudian mengunggah foto/video tersebut dengan tujuan membagikan keindahannya di media sosial, bukan menjualnya seperti yang ada di cerpen Seno. “…Ibarat kata setiap orang memilih sendiri tempat di mana matahari akan tenggelam itu dan merekamnya menurut selera sendiri…” Cerpen-cerpen ini merangkum fenomena yang terjadi saat ini pada kaum milenial. Selain lima cerpen diatas, masih banyak lagi cerpen-cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang juga dapat terhubung pada kaum milenial. Jadi, coba saja kalian baca buku Sepotong Senja untuk Pacarku. Mari nikmati perjalanan Sukab dan senjanya bersama! Salam senja! “ “Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.” ”
cerpen karya seno gumira ajidarma